maling karya Lidya Kartika Dewi


Identifikasi Cerpen

Cerpen merupakan jenis (genre) sastra yang paling banyak
diminati orang. Setiap minggu, begitu banyak cerpen bermunculan di
media massa. Gemarkah kalian membaca cerpen? Dalam pelajaran kali ini,
kalian akan berlatih untuk mengidentifikasi cerpen yang akan dibacakan
oleh teman kalian.kalian akan melakukan analisis terhadap alur,
penokohan, dan latar yang ada dalam cerpen tersebut. Setelah itu, kalian
akan mendiskusikannya di dalam kelas. Dengan kegiatan ini, diharapkan
kalian semakin gemar membaca cerpen dan pandai mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik yang ada di dalamnya.

kalian tentu pernah membaca cerpen. Cerpen tersebut dapat
ditemukan dengan mudah dalam majalah anak-anak yang sering kalian
baca sejak kecil, majalah remaja yang kini gemar kalian baca, juga dalam
surat kabar. Sudah berapa judul cerpen yang kalian baca? Tentunya sudah
sangat banyak. Cerpen merupakan salah satu genre sastra selain novel,
puisi, hikayat, dan naskah drama. Seperti halnya novel, cerpen dapat
dikategorikan sebagai karya prosa fiksi. Cerita pendek sering disebut
sebagai cerita rekaan yang relatif pendek karena dapat selesai dibaca
dalam satu kali pembacaan. Dalam penyajiannya, cerpen disusun secara
cermat dan hemat serta berfokus pada satu pokok permasalahan.

Cerpen memiliki unsur-unsur intrinsik. Unsur-unsur tersebut
merupakan bagian penting dalam terbentuknya sebuah cerita. Unsurunsur
tersebut adalah alur, penokohan, dan latar. Dalam pembelajaran kali ini,
kalian akan belajar menganalisis unsur-unsur tersebut. Akan tetapi,
sebelum membahas unsur-unsur tersebut lebih dalam, sebaiknya kita
dengarkan dulu pembacaan cerpen yang akan disampaikan oleh teman
kalian berikut:

MALING
Karya Lidya Kartika Dewi

Sejak merenovasi rumahnya yang sederhana menjadi rumah
megah, perilaku keluarga Pak Cokro berubah total! Berada persis di depan
sebuah gang yang tidak terlalu lebar, rumah Pak Cokro kini bak istana
yang berdiri di antara rumah-rumah sederhana dan sangat sederhana
para tetangganya.
Dulu, sebelum rumahnya direnovasi, Pak Cokro dan istrinya
sangat ramah dan menjaga hubungan baik dengan para tetangganya,
terlebih dengan keluarga Bu Marni yang rumahnya persis di depan rumah
Pak Cokro. Begitu dekatnya hubungan bertetangga itu, sehingga mereka
sudah seperti saudara. Bila punya kelebihan makanan, Pak Cokro selalu
menyuruh istrinya membaginya pada Bu Marni. “Kasihan. Bu Marni
sudah janda, sedang empat anaknya masih kecil-kecil,” katanya.
Bu Marni membalas kebaikan Pak Cokro dan istrinya dengan
sikap kekeluargaan yang tak kalah intimnya. Sering Bu Marni membantu
pekerjaan rumah Bu Cokro, tanpa pernah minta imbalan. Sejak mencuci
baju, menyeterika, sampai mengepel lantai. Tapi Bu Cokro sangat tahu
kalau membantu bersih-bersih di rumah tetangga merupakan sumber
nafkah Bu Marni. Bu Cokro pun selalu memberi imbalan uang yang sangat
pantas, sehingga hubungan bertetangga mereka sangat mesra dan
harmonis.
Tapi kini, kemesraan dan keharmonisan itu sudah tiada. Rumah
Pak Cokro yang sekarang bertingkat dua dan megah bak istana itu
berpagar tinggi. Jangan lagi untuk menjenguk ke dalam rumah yang
megah itu, untuk melihat teras depannya saja sekarang Bu Marni tidak
bisa. Karena pagar depan rumah yang tinggi itu ditutup pula dengan
fiberglas warna biru tua. Maka semakin jauhlah jarak hubungan antara
keluarga Pak Cokro dengan para tetangganya, juga dengan Bu Marni.
Apalagi, untuk mengurusi rumahnya yang besar itu Pak Cokro kini sudah
mempekerjakan dua orang pembantu yang diambil dari desa.
Bu Marni, juga para tetangga yang lain, bisa memahami
perubahan sikap keluarga Pak Cokro. Mereka memaklumi. OKB, orang
kaya baru, biasanya memang sombong! Para tetangga, juga Bu Marni, tak
ambil peduli.
Tapi, sore itu kuping Bu Marni memanas. Motor bebek yang biasa
dipakai Hendi, anak Pak Cokro yang kedua, hilang. Mengetahui hal itu,
dengan membuka pintu pagar depan rumahnya lebar-lebar, Pak Cokro
yang baru pulang kerja langsung berteriak-teriak.
“Makanya, Hendi, kamu itu jangan sembrono! Nyimpan motor di
luar pintu pagar rumah, ya pasti dicolong maling! Sekarang memang
banyak maling di sekitar rumah kita ini. Jangan lagi motor. Sandal, sepatu,
sapu, payung, bahkan pot bunga aja kalau disimpan di luar pintu pagar,
pasti hilang! Ngerti kamu?”
“Ngerti, Pak,” jawab Hendi lirih. “Makanya kamu harus hati-hati!
Kamu harus tahu, apa pekerjaan orang depan rumah kita itu?” Hendi
membisu. “Kamu juga harus tahu,” tukas Pak Cokro pula. “Banyak orang
iri pada kita. Sehingga, orang yang tadinya baik, bisa jadi maling!” Bu
Marni, yang kala itu sedang menyapu teras depan rumahnya, merasa
tersinggung oleh kata-kata Pak Cokro yang seperti sengaja dibidikkan
padanya. Secara tidak langsung Pak Cokro telah menuduhnya sebagai
maling.
Segera Bu Marni meletakkan sapunya. Tapi, ketika ia bergegas
melangkah menghampiri rumah Pak Cokro, dengan tergesa dan
menghentak Pak Cokro menutup pintu Sedang Bu Marni yang sudah
terlanjur dibakar api kemarahan, dengan sedikit kasar mengetuk-ketuk
pagar yang ditutupi fiberglas itu sambil berseru, “Assalamualaikum!”
Terpakasa Pak Cokro membuka kembali pintu pagar rumahnya dan
menghampiri Bu Marni. “Ada apa, Bu?” tanya Pak Cokro, berlagak bego.
“Pak Cokro menuduh saya mencuri motor bebek Hendi?” suara Bu Marni
memburu. “Ah, siapa yang bilang?” Pak Cokro pasang mimik serius. “Saya
dengar waktu Pak Cokro berteriakteriak memarahi Hendi,” kata Bu Marni.
“Ah, itu perasaan Bu Marni saja,” suara Pak Cokro berubah santai,
ramah. “Percaya, Bu, saya nggak nuduh siapa-siapa. Saya hanya
memarahi Hendi agar tidak teledor. Gang depan rumah kita ini kan jalan
yang hidup. Banyak orang lalu-lalang. Jadi mana bisa saya menuduh
orang sembarangan?”
Bu Marni terdiam, tak mampu untuk membela diri lebih jauh.
Lalu tanpa permisi ia pergi meninggalkan halaman rumah Pak Cokro,
walau di dalam hatinya masih tersimpan rasa kesal. Sepeninggal Bu
Marni, Pak Cokro menutup pintu pagar rumahnya sambil bergumam,
“Huh, dasar miskin. Ada orang ngomong sedikit keras aja tersinggung!”
Akhir-akhir ini, sore hari, sering kali pintu pagar depan rumah
Pak Cokro dibuka lebar-lebar. Dan, beberapa kali secara tidak serngaja Bu
Marni melihat Pak Cokro tengah duduk melamun. Awalnya Bu Marni
menduga Pak Cokro kelelahan setelah seharian bekerja. Tapi, belakangan
Bu Marni mulai curiga, ketika mulai ramai disiarkan di beberapa stasiun
TV, bahwa di departemen tempat Pak Cokro bekerja telah terbongkar
sebuah mega korupsi.
Apakah Pak Cokro terlibat di dalamnya? Bukan hanya Bu Marni,
tapi para tetangga juga mulai ramai berbisik-bisik tentang dugaan
keterlibatan Pak Cokro. Dan, dugaan itu menjadi kenyataan, ketika siaran
berita di TV mulai menyebut-nyebut nama Pak Cokro terlibat dalam mega
korupsi itu.
Bu Marni menghela napas puas. Sakit hatinya karena dicurigai
sebagai maling oleh Pak Cokro kini mendapatkan momen untuk
dilampiaskan. Maka ketika sore itu pintu pagar depan rumah Pak Cokro
terbuka lebar dan tampak Pak Cokro tengah duduk melamun, Bu Marni
langsung berkata dengan suara keras, menyambut Sekar, anaknya yang
pertama yang baru pulang dari mengaji di rumah Ustadzah Yoyoh.
“Makanya, Sekar, kamu belajar ngaji yang baik. Biar moralmu
baik. Agar kalau besok-besok kamu jadi pejabat, kamu nggak jadi maling!”
Seakan tahu kepada siapa ucapan ibunya ditujukan, cepat Sekar menukas,
“Ah, kalau pejabat bukan maling, Bu. Tapi korupsi!” “Ah, itu kan hanya
istilah!” teriak Bu Marni. “Tapi hakekatnya sama saja, maling! Banyak duit
dari hasil maling aja sombong!”
Mendengar teriakan Bu Marni, Pak Cokro tak tahan. Ia tahu,
teriakan itu ditujukan kepadanya. Buru-buru Pak Cokro bangkit dari
duduk dan segera menutup pintu pagar depan rumahnya rapat-rapat.
Melihat ucapannya mengenai sasaran, Bu Marni dan Sekar
berpelukan sambil tersenyum penuh kemenangan. Beberapa hari yang
lalu sang ibu memang telah mengatakan pada sang anak, bahwa ia akan
melampiaskan dendamnya pada Pak Cokro. Kini sakit hati itu telah
terbayar!
Hari masih pagi. Masih sangat pagi. Matahari masih malu-malu
bersinar dari ufuk timur. Pohon jambu air yang daunnya rimbun dan
buahnya lebat yang tumbuh di halaman depan rumah Bu Marni masih
tampak segar, karena masih digayuti embun. Dan, Bu Marni tengah sibuk
menyapu halaman depan rumahnya yang dikotori daun-daun jambu air
yang gugur, saat terdengar sebuah suara memberi salam.
“Assalamualaikum.” Bu Marni menghentikan aktifitasnya
menyapu dan menatap ke arah pintu pagar. “Waalaikumsalam. Eh, Bu
Cokro.” Bu Marni meletakkan sapu lidi sembarangan dan bergegas ke
pintu pagar dan membukanya. “Mari masuk, Bu,” ucapnya, ramah. “Maaf,
mengganggu.” Senyum Bu Cokro, sedikit rikuh. “Oh, nggak, nggak.” Bu
Marni melangkah ke teras. Bu Cokro membuntuti. Di kursi teras keduanya
duduk berdampingan. “Ada perlu apa, Bu?” kening Bu Marni berkerut,
penuh tanya. “Kalau bersedia, saya minta Bu Marni membantu- bantu lagi
di rumah saya,” kata Bu Cokro, hati-hati. “Lho, memang pembatu
rumahnya ke mana, Bu?” tanya Bu Marni heran. Benar-benar heran. Ia
memang tak tahu persis apa yang telah terjadi di dalam rumah besar bak
istana itu.
“Sebelum digelandang ke hotel prodeo, Pak Cokro meminta dua
pembantu rumah kami supaya dipulangkan ke desa. Sebagai gantinya
memohon Bu Marni untuk kembali membantu-bantu di rumah kami.”
“Ooo.” Bu Marni manggut-manggut. “Bu Marni mau, kan?” sela Bu Cokro,
penuh harap.
Bu Marni tidak segera menjawab. Teringat ia pada sikap kasar dan
sombong keluarga Pak Cokro setelah jadi orang kaya. Tapi segera pula Bu
Marni menyadari posisinya sebagai janda miskin dengan empat anak.
Demi urusan perut dan biaya pendidikan keempat anaknya, rasa sakit hati
itu harus Bu Marni buang jauh-jauh.
“Ya ya saya mau, Bu,” ucap Bu Marni sumringah, bungah. “Tapi
maaf, Bu. Kalau boleh saya tahu, hotel prodeo itu apa?” Sesaat Bu Cokro
tampak ragu untuk bicara. “Penjara,” katanya kemudian. “Tapi suami saya
nggak bakal lama mendekam di sana. Paling lama satu tahun. Itu karena
kesalahan Pak Cokro tidak terlalu besar.” “Ooo.” Kembali Bu Marni
manggut-manggut. “Yah, nggak apa-apalah dipenjara. Itung-itung istirahat
dari rutinitas kerja,” sambung Bu Cokro. “Karena walau dipenjara, saya
sudah lihat, tempatnya enak, seperti di hotel. Ada AC, kulkas, juga TV.”
“Ooo.” Lagi-lagi Bu Marni hanya bisa manggutmanggut.
Sumber: Republika ,
26 Agustus 2007
Setelah selesai mendengarkan pembacaan cerpen tersebut, Anda
dapat melanjutkan kegiatan menganalisis unsur-unsur intrinsik yang telah
dikemukakan sebelumnya.
1. Alur
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku
dalam suatu cerita. Berdasarkan susunan periode waktu, alur dapat
dibedakan menjadi alur konvensional dan alur nonkonvensional. Suatu
cerpen dikatakan memiliki alur konvensional jika waktu dalam cerita
berurutan dari periode pertama sampai periode akhir. Sementara itu,
cerita dikatakan memiliki alur nonkonvensional jika periode-periode
dalam cerita tidak berurutan.
Cerpen berjudul “Maling” yang telah Anda baca menggunakan
alur nonkonvensional. Dalam cerpen tersebut, terjadi kilas balik yang
menampilkan gambaran masa lalu kehidupan keluarga Pak Cokro. Hal
tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Dulu, sebelum rumahnya direnovasi, Pak Cokro dan istrinya
sangat ramah dan menjaga hubungan baik dengan para tetangganya,
terlebih dengan keluarga Bu Marni yang rumahnya persis di depan rumah
Pak Cokro. Begitu dekatnya hubungan bertetangga itu sehingga mereka
sudah seperti saudara. Bila punya kelebihan makanan, Pak Cokro selalu
menyuruh istrinya membaginya pada Bu Marni. “Kasihan. Bu Marni
sudah janda, sedang empat anaknya masih kecil-kecil,” katanya.
Setelah bagian yang menunjukkan kehidupan masa lalu keluarga
Pak Cokro tersebut, alur bergerak secara konvensional karena tidak ada
lompatan waktu ke masa lalu lagi.
2. Penokohan
Dalam sebuah cerpen, tokoh dibedakan menjadi tokoh utama dan
tokoh pendukung. Tokoh utama adalah peran inti yang paling penting
dalam sebuah cerita. Adapun tokoh pendukung adalah tokoh yang
melengkapi keberadaan tokoh utama. Meskipun tokoh pendukung sering
dikatakan sebagai tokoh yang tidak penting, sebetulnya tokoh
pendukunglah yang menyokong keberadaan tokoh utama.
Untuk menentukan mana yang merupakan tokoh utama dan tokoh
pendukung, dapat ditentukan dengan mengamati hal-hal berikut.
a. Melihat kuantitas kemunculan tokoh tersebut dalam cerpen.
b. Memerhatikan petunjuk yang diberikan oleh pengarang
melalui komentar pengarang.
Dalam cerpen “Maling”, tokoh utamanya adalah Pak Cokro dan Bu
Marni. Kedua tokoh ini memegang peranan sentral. Pak Cokro
digambarkan sebagai seorang OKB (orang kaya baru) yang angkuh dan
sombong sejak menjadi kaya. Sementara Bu Marni digambarkan sebagai
orang miskin yang berbesar hati, namun kesal juga melihat tingkah Pak
Cokro, tetangganya.
Kemunculan kedua tokoh tersebut memunculkan berbagai nilai
kemanusiaan Sekarang, dapatkah Anda menyebutkan tokoh pendukung
dalam cerpen tersebut? Jangan lupa kemukakan juga fungsi keberadaan
tokoh tersebut di dalam cerita.
3. Latar
Latar merupakan salah satu unsur pelengkap isi cerita yang tidak
bisa dipisahkan dari analisis aspek tekstual karya sastra. Begitu juga dalam
cerpen, latar memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun
cerita secara utuh. Latar merupakan salah satu unsur pelengkap isi cerita.
Latar atau setting mengacu pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting
untuk memberikan kesan nyata pada pembaca, yakni menciptakan
suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.
Latar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu latar tempat dan latar
waktu. Latar tempat merupakan bentukan lokasi tiap-tiap peristiwa
terjadi, sedangkan latar waktu merupakan bentukan waktunya. Dalam
cerpen “Maling”, latar tempat yang digunakan adalah di sekitar tempat
tinggal Pak Cokro dan Bu Marni. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan
berikut.
Tapi, sore itu kuping Bu Marni memanas. Motor bebek yang biasa
dipakai Hendi, anak Pak Cokro yang kedua, hilang. Mengetahui hal itu,
dengan membuka pintu pagar depan rumahnya lebar-lebar, Pak Cokro
yang baru pulang kerja langsung berteriak-teriak. Juga dalam kutipan
berikut.
Sementara itu, latar waktu yang digunakan adalah sore dan pagi
hari. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut. Akhir-akhir ini,
sore hari, sering kali pintu pagar depan rumah Pak Cokro dibuka lebar-
lebar. Dan, beberapa kali secara tidak sengaja Bu Marni melihat Pak Cokro
tengah duduk melamun. Awalnya Bu Marni menduga Pak Cokro kelelahan
setelah seharian bekerja. Tapi, belakangan Bu Marni mulai curiga, ketika
ramai disiarkan di beberapa stasiun TV, bahwa di departemen tempat Pak
Cokro bekerja telah terbongkar sebuah mega korupsi.
Maka ketika sore itu pintu pagar depan rumah Pak Cokro terbuka
lebar dan tampak Pak Cokro tengah duduk melamun, Bu Marni langsung
berkata dengan suara keras, menyambut Sekar, anaknya yang pertama
yang baru pulang dari mengaji di rumah Ustadzah Yoyoh.
Kegiatan membaca cerpen dapat memberikan hiburan sekaligus
nilai-nilai kehidupan bagi kalian.

Tinggalkan komentar